Judul Buku : Toraja : Saat Cinta Menemukan Jalan Pulang
Penulis : Endang SSN
Halaman : 244
Penerbit : deTeens
Kalau Gagas Media punya serial STPC (Setiap Tempat Punya Cerita), maka deTeens ada serial #Travelove yang juga memadukan konsep traveling dengan romansa. Bedanya, deTeens mengambil setting lokasi wisata di Indonesia. Salah satu buku dari serial #Travelove ini berlokasi di Toraja. Sebagai orang Toraja, tentunya saya tidak akan melewatkan buku ini.
Novel ini menceritakan dua sahabat bernama Tomi dan Sandy. Sandy adalah lulusan terbaik Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Sebagai anak sulung, orang tuanya menaruh harapan yang tinggi pada anaknya. Sandy yang lulus tepat waktu dan mendapat nilai terbaik tentunya membanggakan ayahnya, Pak Broto. Sayangnya keberhasilan Sandy di bidang akademik tidak sejalan dengan keberhasilannya dalam hubungan percintaan. Dia dicampakkan oleh Olla, pacarnya, yang selingkuh dengan pemuda lainnya. Kegagalannya ini diikuti pula dengan sulitnya Sandy mendapatkan pekerjaan sesuai dengan ilmu yang tertera di ijazahnya. Ratusan surat lamaran pekerjaan yang dikirim, tak satupun yang menerimanya.
Tomi, sahabat Sandy sewaktu SMA. Tomi sendiri melanjutkan kuliahnya di Universitas Andalas, Padang. Ketika lulus, Tomi memanfaatkan waktu menunggu pekerjaan dengan menjadi anggota sebuah grup band salah satu kafe di kawasan Kemang. Selain itu Tomi juga mempunyai sebuah distro. Baik Tomi maupun Sandy menyukai fotografi. Ketika Sandy mengeluh bosan dengan hidupnya yang monoton, Tomi kemudian mengajaknya untuk traveling. Hasil undian menunjukkan mereka akan pergi ke Toraja. Meski awalnya keberatan dengan lokasi tujuan mereka, Sandy akhirnya berangkat bersama dengan Tomi.
Di Toraja, mereka memuaskan diri dengan hobi fotografi mereka. Beruntung mereka bertemu dengan Tangke, seorang pemuda Toraja dalam perjalanan mereka dari Makassar ke Toraja. Mereka juga menginap di rumahnya Tangke. Cukup lama tinggal di Toraja, Sandy bertemu dengan seorang gadis bernama Bira. Singkat cerita, Bira mampu mengusir kedudukan Olla di hati Sandy. Merasa mantap dengan pilihan hatinya, Sandy berniat menikahi Bira. Sayangnya, keluarga Bira tidak menyetujui hubungan mereka.
Okey, sekian ringkasan isi novelnya. Sekarang, saya akan mengupas isi buku ini yang tentu saja sesuai dengan pendapat pribadi saya.
Pertama, saya sangat mengapresiasi adanya penulis yang mengangkat lokasi leluhur saya sebagai bagian dari novelnya. Saya suka dengan cover-nya yang menampilkan ornamen ukiran khas Toraja. Bukan hanya di cover, ada di dalam tiap halaman juga. Sayangnya saya menemukan banyak sekali kejanggalan dalam novel ini. Saya nggak tahu latar belakang penulis dan bagaimana dia melakukan riset tentang Toraja. Misalnya saja penggunaan istilah tongkonan. Dalam bahasa Toraja, tongkonansecara umum diartikan sebagai rumah adat Toraja lengkap dengan bentuk atap seperti perahu, rumah panggung dengan tiang-tiang kayu, dan (jika pemiliknya bangsawan) dilengkapi dengan deretan tanduk kerbau salah satu tiang utama. Tetapi tongkonan bisa juga diartikan sebagai rumah besar, tempat rumpun keluarga berkumpul. Tidak semua rumah di Toraja disebut tongkonan. Di dalam novel ini Tangke digambarkan tinggal di sebuah tongkonan. Okeylah untuk Tangke. tapi seorang pemuda rantau bernama Raka juga “punya” tongkonan. Mungkin maksud penulis adalah rumah tinggal, hanya saja penggunaan istilah tongkonan tidak sesuai konteks dalam novel ini.
Kedua, Rantepao digambarkan dalam novel ini sebagai sebuah desa. Padahal Rantepao itu ibukota kabupaten Toraja Utara. Dibandingkan dengan Makale (ibukota kabupaten Tana Toraja), Rantepao lebih ramai karena ada banyak objek wisata yang lebih dekat dengan Rantepao. Kita juga akan lebih sering menemukan turis (nasional maupun mancanegara) dibandingkan di Makale. Oh…ngomong-ngomong Tana Toraja (bukan tanah Toraja seperti tertulis dalam novel ini) sudah terbagi menjadi dua kabupaten sejak otonomi daerah diberlakukan. Dan jangan salah, setiap tahun ada festival bertaraf internasional yang dilakukan di sana.
Ketiga, di novel ini digambarkan Sandy sangat ketakutan ketika mengetahui destinasi wisata mereka adalah Toraja. Tapi tidak dijelaskan mengapa Sandy ketakutan, selain (katanya) Toraja bernuansa mistis. Bukan hanya Sandy, ayahnya Pak Broto pun ketakutan ketika mengetahui anaknya akan pergi ke Toraja. Entah Sandy ini memang orangnya penakut atau gimana, tapi nuansa mistis itulah yang menjadi daya tarik Toraja. Sama hal-nya di Bali, budaya yang kental menjadi daya tarik wisatawan. Memang sih orang banyak mengenal Toraja dengan upacara adat kematian (Rambu Solo), tapi percayalah tidak ada yang menakutkan dari upacara itu. Malah orang Toraja “berpesta” di acara itu. Lagipula, saat ini upacara kematian seperti itu sudah jarang dijumpai. Paling dalam setahun hanya di pertengahan tahun saja ada acara Rambu Solo, itupun diadakan oleh para bangsawan.
Keempat, sebagai novel bernuansa travelling, tidak lengkap jika tidak ada kuliner yang disinggung di dalamnya. Ada sih disebutkan pa’piong (makanan khas yang dimasak di dalam bambu). Selebihnya hanya disebut camilan khas Toraja, makanan khas Toraja tanpa keterangan lebih jelas. Padahal kalau penulis mau lebih memperdalam risetnya camilan khas Toraja itu ada namanya lho…misalnya deppa te’tekan (camilan yang terbuat dari tepung beras).
Kelima, Sandy yang notabene lulusan terbaik salah satu universitas terbaik di Indonesia, apalagi mengambil jurusan favorit (psikologi) sulit mendapatkan pekerjaan. Sandy bahkan sudah mengirim ratusan surat lamaran, tapi gak satupun yang “nyangkut”. Err… kok agak sulit masuk dalam logika saya ya… Ini ratusan surat lamaran lho. Betapa idealisnya Sandy dalam memilih pekerjaan.
Terakhir, entah ini hanya perasaan saya saja atau gimana, saking panjangnya runtutan kisah dalam novel ini sepertinya ada bagian yang hilang. Misalnya bagian ketika Sandy dan Tomi tiba di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Mereka baru bertanya bagaimana caranya bisa ke Toraja, eh..settingnya tiba-tiba mereka sudah ngejar bus di Terminal Daya, Makassar. Ohya, soal typo masih banyak dijumpai dalam novel ini. Kalau kurang huruf sih nggak ada, seringnya typonya itu misalnya yang ngomong harusnya Sandy yang tertulis Tomi, atau yang bicara Tomi yang tertulis Tangke. Rasanya editor akan mendapatkan PR jika novel ini dicetak ulang.
0 komentar:
Posting Komentar