Bagi masyarakat Toraja, kematian adalah sesuatu yang disakralkan. Bagi mereka, kematian harus dihormati. Mereka yang mati biasanya diletakkan di dalam kuburan tebing atau kuburan batu (patane). Selama bertahun-tahun didiamkan di sana. Anehnya, mayat-mayat yang di semayamkan di kuburan batu tetap awet dan tidak membusuk.
Kisah tentang mayat utuh dan tidak membusuk di Toraja sudah ada sejak tahun 1905. Sebelum agama Kristen memasuki Tana Toraja, orang Toraja memeluk kepercayaan aluk toyolo atau kepercayaan kepada leluhur dan alam. Pada awalnya jenazah-jenazah itu dibaringkan dalam sebuah gua batu, kemudian diletakkan pada sebuah batu. Jenazah tersebut tak membusuk, malah mengering.
Hingga suatu ketika pengawetan jenazah dilakukan dengan menggunakan ramuan, menggunakan daun vinus, minyak tanah, batang tille –tumbuhan yang menyerupai batang tebu tapi lebih kecil dan tak dimakan–, daun teh, dan garam. Bahan-bahan tersebut dicampurkan lalu dihaluskan dan dituangkan ke dalam mulut jenazah. Sisanya dioleskan pada kulit. Dan alam membantu pengawetan dan pengeringan jenazah dengan baik.
Mayat-mayat utuh tersebut pertama ditemukan di sebuah gua di Desa Sillanang. Saat ditemukan mayat tersebut tidak busuk, pun sampai sekarang. Uniknya, mayat utuh itu tanpa dibalsem.
0 komentar:
Posting Komentar