Tanah Papua Ka, Tana Toraja Ka, Sama Saja…
- Potret Kehidupan Perantau Toraja di Manokwari
Oleh: Patrix Barumbun Tandirerung
PULUHAN tahun hidup dan beranak cucu di perantauan rupanya membuat warga asal Toraja yang bermukim di Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, menyimpan keinginan menikmati masa tua di kampung halaman. Meski begitu terselip kekuatiran kalau mereka serta anak cucu yang lahir di perantauan sulit atau tidak sanggup lagi menyesuaikan diri dengan kekinian Toraja, baik menyangkut dinamika, lingkungan maupun masyarakatnya.
Perasaan ini dipendam Thomas La’bik (60 tahun), warga Fanindi Bengkel Tan, Distrik Manokwari Barat. Keterikatan pada komunitas serta alasan penghidupan yang lebih layak di perantauan memperkuat dilema itu. Inilah pilihan Thomas: bertahan di tanah rantau dengan konsekuensi Ia dan keluarganya tercerabut dari akar kebudayaan asal, atau pulang dengan konsekuensi anak cucunya harus kembali beradaptasi dengan penghidupan baru serta budaya dan lingkungan Toraja.
“Saya ingin sekali nikmati masa tua atau menjalani masa pensiun di sana. Tapi itu baru rencana soalnya anak-anak lahir di sini, mereka sudah besar dan kurang memahami adat dan budaya Toraja. Saya kuatir mereka tidak betah, saya juga begitu, 37 tahun lalu jelas beda situasinya dengan sekarang,” tutur pria kelahiran Balusu, Toraja Utara ini dengan aksen Toraja yang kental, Selasa 13 September di beranda kediamannya, Kompleks Fanindi Bengkel Tan, Distrik Manokwari Barat.
Ayah 6 anak dan telah dikaruniai 6 cucu ini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan dan Pengajaran Manokwari. Meninggalkan Kampung halaman awalnya pilihan sulit bagi Thomas. Di kampung ada sanak saudara dan keluarga. Tapi garis hidup bicara lain. Ia sulit mendapat pekerjaan layak. Tahun 1973 bersama 14 rekannya, Thomas akhirnya nekat merantau ke Tanah Papua.
Dari Makassar ia mengarungi lautan kurang lebih sebulan lamanya menumpangi kapal barang. Tujuan Thomas dkk adalah Nabire. Tapi sebuah pertengkaran sesama mereka di atas kapal memaksa Thomas memilih turun di Manokwari.
Mengapa memilih Papua? “Waktu di kampung pilihan kami memang mau ke Kalimantan, lebih dekat. Tapi ada informasi kalau Papua masih terbuka. Katanya peluang mendapat pekerjaan besar, akhirnya kami kesini,” jawabnya lugas kepada saya.
Tiba di Manokwari seorang diri justru membuatnya kesulitan dan mulai sadar bahwa sandaran hidupnya saat itu adalah diri sendiri dan sesama perantau Toraja. Kesadaran lainnya adalah, perkara mencari kerja di perantauan ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Bukan hanya butuh lembaran ijazah dan pengalaman tetapi juga keterampilan dan koneksi. Alhasil, Ia menganggur 4 bulan lamanya. “Waktu itu kalau mau makan, saya biasanya ke orang – orang Toraja yang saya kenal,” kenangnya pahit.
Jalan hidup Thomas mulai berubah ketika seorang kerabat mengajaknya ke Babo dan Bintuni untuk bekerja. Ia dikontrak menjadi tenaga survey sumber minyak selama 6 bulan lamanya. Sebenarnya ia merasa tidak betah dengan pekerjaan itu apalagi ganasnya hutan Papua dan muara sungai yang tidak saja menyimpan reptil mematikan semisal ular berbisa dan buaya tetapi juga nyamuk penyebar penyakit yang paling ditakuti pendatang: malaria.
Suatu saat ketika sedang berisitrahat di tengah hutan, Ia iseng memutar radio milik temannya. Tak disangka, radio menyiarkan adanya penerimaan tenaga guru.“Saya iseng buat permohonan dari hutan. Ha ha ha… Eh, Tahun 1975 saya dapat panggilan tugas,” katanya. “Saya kemudian dipanggil ke Manokwari lalu ditugaskan di pedalaman Distrik Amberbaken. Sejak saat itu saya berstatus sebagai pegawai negeri sipil.”
Saat bertugas, Thomas pun mulai menjajal berbagai daerah baru dan dekat dengan kota sebelum ditugaskan di Kota Manokwari pada tahun 1983. Ia akhirnya memantapkan diri menetap di kota ini tempat dimana anak cucunya lahir dan tumbuh dewasa. Sesekali Ia pulang ke Toraja terutama bila ada acara keluarga. Untuk pertama kalinya Thomas pulang kampung pada tahun 1981.
***
BEBERAPA bulan lalu dalam sebuah acara persiapan pelantikan pengurus Ikatan Keluarga Toraja Manokwari di Manokwari, saya bertanya kepada seorang bocah Keturunan Toraja kelahiran Manokwari. “Dek, apa bahasa Torajanya makan?”
“Kumande kaka,” jawabnya mantap.
“Kalau ‘mau kemana’?”
“Umm -ba laaa mu ola.” Ia terbata-bata.
“Kerbau?”
“Tedong to,” jawabnya cepat.
“Kalau siap gerak!?”
Dia terdiam sejenak, senyum dan garuk – garuk kepala, “Adoh, sa tra tahu kaka. Tanya lain boleh ka,” katanya.
Para tetua hanya tersenyum. Namun bisa juga mereka berfikir, “apa ya?”
“Siapa pahlawan nasional dari Toraja?” saya bertanya lagi.
Bocah itu geleng-geleng kepala.
Dialog ini mengingatkanku pada adik saya yang bernama Umrah. Ia lahir dan sampai saat ini bermukim di Malaysia, tepatnya di Sabah, tempat ibu saya menghembuskan nafas terakhirnya. Umrah tak bisa berbahasa Toraja apalagi menghafal teks Proklamasi RI atau lagu kebangsaan Indonesia Raya. Beda ceritanya ketika saya memintanya menyanyikan lagu kebangsaan Malaysia; cepat dan lantang sekali dia.
“Dek!” seru saya suatu ketika kepada Umrah dalam pertemuan kami di Makassar. “Coba kau hitung 1 sampai 5 dalam bahasa Toraja.”
“Tidak tahu lah abang. Aku boleh kalau english,” jawabnya. “One… Two.. Three… Four, Five…”.
“Hmmmm…”
***
KOMPLEK Fanindi Bengkel Tan terlihat sepi. Jarum jam menunjuk pukul 14.15 WIT. Kawasan ini adalah salah satu titik pemukiman di Manokwari yang dihuni oleh pendatang dari suku Toraja. Hanya beberapa warga yang terlihat duduk di beranda rumah.
Lorong yang membelah deretan rumah warga juga sepi dari pelintas. Kecuali, beberapa bocah keturunan Toraja yang lahir di kota ini. Mereka bermain bersama sejumlah bocah Papua, tetangga mereka. Saya beruntung mendapati Thomas sebagai sumber informasi mengenai komunitas tersebut. Ia sedang menjemur pakaian cucunya di beranda rumah saat menerima saya.
Oleh warga Manokwari, kawasan ini biasa dinamai “Kompleks Toraja”. Thomas adalah orang Toraja yang pertama kali tinggal di tempat ini. Awalnya, Thomas membeli sebidang tanah dari seorang pemilih tanah bernama Rumbarar. Pilihannya diikuti perantau Toraja lainnya.
Hingga kini setidaknya terdapat 50 kepala keluarga dari kalangan suku Toraja yang mendiami kawasan tersebut. Titik pemukiman lainnya yang dihuni oleh mayoritas warga Toraja di Manokwari adalah Komplek Kaca Bulat di sekitar pelabuhan Manokwari, Kampung Marampa’ di Sowi Distrik Manokwari Selatan dan Komplek Fanindi ST.
Warga Toraja yang mendiami Fanindi Bengkel Tan umumnya berprofesi sebagai buruh dan tukang kayu. Itu sebabnya siang itu kawasan ini sepi. “Kira – kira 60 persen buruh lebihnya PNS dan pekerja swasta,” sebut Thomas.
Manokwari berstatus sebagai Ibukota Provinsi Papua Barat. Menurut pengamatan saya, sepanjang tahun 1999 hingga kini, Manokwari berkembang signifikan. Itu terlepas dari munculnya sejumlah protes warga soal ketidak adilan pembangunan, hingga masih menggemanya tuntutan Papua merdeka.
Perkembangan itu sangat terasa setelah mendapat status sebagai ibukota provinsi. Pemerintah terus menggenjot pembangunan hingga ke daerah pedalaman. Geliat pembangunan dan berkembangnya sektor jasa pun mengundang para pendatang mencari peruntungan hidup. Gelombang perantau juga berasal dari Toraja.
Menurut Ketua Umum Ikatan Keluarga Toraja Provinsi Papua Barat, Daniel R Patandianan, jumlah warga Toraja di Provinsi ini kurang lebih 49.000 jiwa, mereka tersebar hampir disemua kabupaten di Papua Barat.
“Jumlah terbanyak terdapat di Sorong, disusul Manokwari, Teluk Bintuni dan Teluk Wondama,” katanya.”Jumlahnya semakin meningkat setelah Papua Barat jadi provinsi.”
Manokwari menyimpan sisi kesejarahan di Tanah Papua terutama menyangkut peradaban dan gerakan sosial orang Papua. Sisi peradaban berkaitan dengan sejarah masuknya Injil di Tanah Papua untuk pertama kalinya yang diprakarsai misionaris Johann G Geissler dan Carl W Ottow. Keduanya memulai misi penginjilan di Tanah ini pada tanggal 5 Februari 1855 dari Pulau Mansinam. Bagi orang Papua ini adalah titik balik kehidupan mereka dari gelap ke terang.
Pulau ini dijangkau dalam 10 menit menggunakan taksi laut dari kota Manokwari dan kini menjadi salah satu objek wisata religi yang selalu dikunjungi warga lokal maupun wisatawan.
Thomas dan para tetua Toraja di kawasan Fanindi Bengkel Tan termasuk generasi perantau Toraja pertama di Manokwari. Sebut saja anak mereka yang lahir di Manokwari sebagai generasi kedua. Bila ada yang memiliki cucu maka cucunya adalah generasi ketiga.
Generasi kedua dan ketiga yang lahir di tanah rantau biasanya tidak lagi memiliki interaksi secara langsung dengan budaya asalnya kecuali ikatan emosional kesejarahan keluarga. Interaksi yang bersifat multikultural di perantauan serta aktivitas dan kesibukan sehari-hari di perantauan, juga membuat mereka tak terlalu peduli Toraja beserta tetek bengek kebudayaannya. Generasi inilah yang terancam tercerabut dari akar kebudayaan asalnya.
Agar lebih dekat dengan kampung, perantau generasi kedua dan ketiga biasanya melanjutkan studi di Makassar yang secara geografis relatif dekat dengan Toraja. Inilah kesempatan bagi mereka untuk berinteraksi dengan kebudayaan Toraja tatkala bersua dengan handai taulan yang tersisa di kampung halaman. Bagi yang sama sekali menetap dan tumbuh di Manokwari, referensi tentang adat istiadat Toraja biasanya didapatkan dari penuturan orang tua maupun lewat informasi media massa.
***
DANIEL R Patandianan menerima saya di ruang kerjanya, tepatnya di kantor perusahaan pelayaran PT Fajar Lintasirja Lines, Jalan Merdeka nomor 42 Manokwari. Di perusahaan ini Ia menjabat sebagai Kepala Cabang.
Wajah Pak Patandianan— begitu warga Toraja di Manokwari memanggilnya— cukup familiar bagi saya; mirip dengan wajah mantan presiden Republik Indonesia, M. Jusuf Kalla. Bayangkan saja pak JK dengan kumis agak tebal dan rambut agak bergelombang, kurang lebih begitulah Pak Patandianan.
Dia lahir di Pangli, sebuah kampung di Kabupaten Toraja Utara 10 Juni 1944. Suami Senobua’ Ramba ini bermukim di Manokwari pada Juni 1990 tepatnya ketika ditugaskan menjadi kepala cabang PT Pelayaran Nasional Indonesia atau PELNI. Enam tahun bertugas sebagai Kepala PELNI ia kemudian dimutasi. Alasan mutasi diceritakan kepada saya namun tak bisa dipublikasi untuk menghormati permintaan “Off The Record” yang Ia ajukan.
Mutasi itu, menurut dia tak beralasan. Merasa berada pada pihak yang benar Ia akhirnya memilih mengundurkan diri, lantas terjun ke dunia usaha yang tak jauh – jauh dari urusan pelabuhan: pelayaran, ekspedisi muatan kapal laut dan bongkar muat. Sebelum di Manokwari, Ia sempat bertugas di Jakarta, Makassar dan Kendari.
“Saya memilih terjun ke usaha ini karena pengalaman bekerja di pelabuhan dan memahami seluk beluk pelabuhan,” katanya soal usaha yang Ia geluti. Ia perokok aktif. Terutama saat berbicara. Alhasil, ruang kerjanya selalu dihiasi kepulan asap rokok.
Patandianan muda adalah seorang aktivis mahasiswa. Lulus di SMA negeri Manokwari pada tahun 1962, Ia pun melanjutkan studi pada jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, lantas menyambung studinya di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Ia menggondol gelar sarjana hukum di kampus ini pada tahun 1972.
“Saya masuk UGM tahun 1965 pada masa Gestapu tapi tidak diterima. Untunglah saya punya kartu anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), kartu itu menyelamatkan saya, sebab GMKI pada jaman itu merupakan penyokong orde baru,” ujarnya. “Kalau saya anggota GMNI yang pro Soekarno pasti lain ceritanya.”
Dari percakapan kami, saya mengetahui bahwa Patandianan adalah sosok yang ramah dan memahami adat istiadat dan kebudayaan Toraja. Sejak kecil hingga lulus SMA, Patandianan gemar duduk dan berdiskusi soal adat istiadat Toraja bersama orang tua maupun para tetua adat di Toraja, minimal di kampung kelahirannya Pangli. Meski demikian Ia terlihat tidak konservatif namun lebih bersikap kontekstual dalam menerapkan nilai dan adat istiadat Toraja di perantauan. Ia menyebutnya “Penyederhanaan budaya.”
“Orang tua – tua kebanyakan masih membawa pola pikir dari kampung,” katanya mengenai warga Toraja di Manokwari. “Padahal ada ritual maupun pemahaman dalam kebudayaan orang Toraja yang tidak perlu kita terapkan di perantauan semisal pemahaman tentang Tana’ terutama dalam ritual rambu solo maupun rambu tuka yang kita lakukan di perantauan.’”
Tana’ kurang lebih adalah struktur sosial dalam masyarakat adat Toraja. “Contohnya, penggunaan Sarigan danBullean Ratu’ dalam ritual rambu solo’ (duka cita) yang Ma’Sapu Randanan. Di rantauan aturan soal itu cukup menjadi tampilan, sehingga orang memahami bahwa budaya orang Toraja seperti itu. Kalau dipaksakan di tanah rantau, Yamo disanga pa’dikkiki’ sola bitti’ta atau sola kalala’ta to,” ucapnya, yang kurang lebih berarti memaksa aturan itu sama halnya menyakiti atau menyusahkan warga Toraja yang marjinal baik secara ekonomi maupun dalam struktur sosial masyarakat adat.
Penerapan aturan itu secara ketat di perantauan, sebut mantan anggota DPR Papua Barat periode 2004-2009 ini, berpotensi merusak kesatuan orang Toraja. Apalagi bagi mereka yang sama sekali tidak mengetahui adat.
Patandianan yang juga kerap kali disapa Bapak Kepala Suku, memimpin dan mengelola organisasi Ikatan Keluarga Toraja Provinsi Papua Barat dengan pendekatan kultural. Penguasaannya terhadap masalah-masalah adat, kapasitas dan pengalaman kepemimpinan maupun dukungan warga IKT kepadanya sebagai pemimpin, merupakan modal baginya untuk mengurus masalah yang terjadi di dalam tubuh IKT dan warga IKT.
Pendekatan yang sama Ia terapkan saat membangun interaksi dengan komunitas laiinya termasuk ketika menyelesaikan konflik antara sesama warga Toraja maupun antara warga Toraja dengan warga dari suku lainnya.
“Kalau eksternal IKT, kita harus memahami bahwa kita berada di daerah orang. Kita harus mempelajarai tradisi dan nilai – nilai budaya dimana kita bermukim. Karena tamu, ya kita harus pintar – pintar bawa diri. Jika fanatisme dimunculkan sama halnya ‘bawaki ulunta lako batu’ (sebuah ungkapan dalam bahasa toraja yang kurang lebih bermakna membawa diri kepada masalah-red),” tuturnya lagi. “Prinsipnya adalah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
***
MENJELANG sore, para pemukim di Fanindi Bengkel Tan sudah kembali ke rumah masing – masing, kompleks ini mulai memperlihatkan denyut kehidupan sebuah komunitas sekaligus ciri khas ke-Torajaan-nya. Generasi tua berkomunikasi dalam bahasa Toraja. Sementara generasi kedua dan ketiga berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan dialek Melayu Papua.
Sesekali Thomas menyapa para tetangga yang mulai berdatangan. “Manasumo?” sapa seorang ibu kepadanya. Ibu itu adalah seorang pegawai Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Manokwari. Thomas menyambutnya dengan senyum simpul, lantas memberi ibu itu sebuah jeruk manis. Kami sempat larut dalam perbincangan sebelum ibu itu pamit. “E kurre, yamoke kutarru’pa,” kata ibu itu berterima kasih, sebelum berjalan menuju rumahnya.
Waktu dan pengalaman hidup terus mengalir hingga Thomas tak semuda dulu. Ia juga merasa bagian dari alur kesejarahan Tanah Papua. Kontribusinya bagi Tanah Papua tak lain adalah pengabdiannya sebagai guru yang bertahun –tahun mendidik ratusan anak pedalaman Papua.
Baginya, Tak ada lagi yang nomor satu; Toraja atau Papua. Terlebih Thomas mengenal betul kebudayaan lokal berkat interaksinya dengan masyarakat lokal. Gejolak yang terjadi di Tanah Papua termasuk adanya aspirasi dan tuntutan kemerdekaan Papua tak membuatnya beralasan pulang kampung, kecuali karena kerinduan pada sanak saudara dan tanah leluhur. Sesuatu yang manusiawi.
Kini kulitnya mulai dihiasi guratan tanda umur yang mulai uzur. Rambut mulai memutih sana-sini. Wajahnya pun mulai memancarkan keletihan, barangkali seletih sang ayahnya yang ia tinggalkan 37 tahun silam. “Kalau pulang ke Toraja, keluarga saya akan kehilangan pencaharian. Biar lahir di sana tapi saya sudah tidak terbiasa. Apalagi sejak orang tua tidak ada,” ucapnya menghela nafas panjang.
Ia pun terdiam, menerawang jauh, lalu kembali bertutur, “Tahun ini saya pensiun. Pulang dan bertahan disini itu dilema. Budaya Toraja itu tidak bisa saya lupakan. Apalagi saya lahir di sana. Tapi dari pada pusing pikir pulang atau tidak, lebih baik jalani hidup. Prinsip saya manusia di manapun pasti mati. Tanah Papua kah, Tana Toraja kah, sama saja…”(**)
0 komentar:
Posting Komentar