Rabu, 10 Desember 2014

Kopi Toraja, Rasanya Mengguncang


Kopi Toraja merupakan salah satu komoditi Kopi Arabika unggulan asal Toraja. Kopi Toraja memang telah terkenal sejak masa penjajahan Belanda di negeri ini. Tana Toraja adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan yang berada di daerah pegunungan. Toraja berjarak cukup jauh dari Kota Makassar (Ibukota Provinsi) yaitu sekitar 300Km. Sama halnya dengan -kopi di daerah lainya, kopi Toraja juga memiliki karakter yang khas, salah satunya yaitu kandungan asamnya rendah dan memiliki body yang cukup berat, kopi Toraja juga biasa dikenal dengan Kopi Celebes Kalossi. Kata “Celebes Kalossi” tersebut diadopsi dari nama kolonial Belanda untuk salah satu daerah di Sulawesi.

Kopi Toraja
Termasuk dalam jenis kopi arabika, profilnya mirip dengan kopi Sumatera. Sebagian orang bilang, kopi Sulawesi dan kopi Sumatera memiliki rasa khas yang serupa, seperti rasa tanah dan hutan, “hmmm, sulit membayangkan bagaimana rasanya.” Aroma wangi kopi langsung tercium ketika membuka kemasan Kopi Toraja yang telah jadi. Rasa pahitnya berbeda dengan kopi lainnya. Rasa tanah ini justru menjadi nilai lebih Kopi Toraja. Beberapa jenis kopi meninggalkan rasa pahit cukup lama di mulut. Tapi, tidak dengan Kopi Toraja ini. Rasa pahitnya akan segera hilang.
Kopi Toraja yang dikenal oleh masyarakat luas sekarang ini bahkan sampai ke luar negeri, sebagian besar ditanam di perkebunan milik penduduk di lereng-lereng gunung. Inilah yang menjadi keunggulannya; bahwa orang Toraja dikenal mampu memelihara beragam tradisi yang sudah berumur ratusan tahun. Tradisi tersebut, salah satunya adalah upacara pemakaman ‘Rambu Solo’ yang mengundang minat banyak wisatawan domestik maupun luar negeri. Nah, untuk proses penanaman dan pengolahan kopi, juga melalui tradisi yang berumur ratusan tahun dan tetap dijaga hingga saat ini. Pengolahan kopi secara tradisional tersebut adalah dengan menggoreng kopi sampai hitam, hingga matang. Cara penggorengan sampai hitam ternyata menghilangkan karakter asam kopi. Namun, cara pengolahan ini lantas dirubah oleh pengusaha dari Jepang.
A farmer picks robusta coffee fruits during harvest season in Toraja
Dari Segi Bisnis, kopi arabika Toraja sudah dikategorikan sebagai speciality coffee sehingga menjadi buruan pencinta kopi di mancanegara. Harga dari kopi ini juga sangat menggiurkan, yaitu US$ 8. “Sedangkan harga kopi sejenis dari tempat lain di Indonesia mungkin hanya sekitar US$ 4 sampai US$ 5 per kilogramnya,”. Kopi asal Toraja berbeda dengan kopi Indonesia pada umumnya, yang dijuluki earthyatau seperti ada rasa tanah, karena proses pengolahannya tidak terlalu bersih. Keunggulan kopi arabika Toraja adalah pada model pengolahan yang distandardisasi khusus agar menghasilkan biji kopi berkualitas tinggi. Kopi asal Toraja diproses dengan standar sangat ketat melalui seperangkat tes yang dilakukan pekerja berpengalaman. Pengawasan terhadap standar kopi dimulai dari pemetikan hingga tahap pengepakan dan pengiriman. Setiap liter kopi arabika dari petani tradisional yang memenuhi standar ekspor dibeli dengan harga Rp 12.700.
Perjalanan Go Internasional
Perjalanan kopi ini hingga bisa go international tidaklah mudah, namun melalui proses yang cukup panjang. Awalnya pemerintah kolonial Belanda mengetahui keberadaan ‘harta karun’ ini. Mereka sempat membuka perkebunan kopi seluas 300 hektar dan menamainya Kalossi Celebes Coffee, namun tidak berjalan mulus. Kemudian masuklah Jepang ke Indonesia. Dengan masuknya Jepang di Indonesia, biji kopi ini sempat diperkenalkan ke ‘Negeri Matahari Terbit’ tersebut. Pada 1973, Hisashi Ohki –Wakil Presiden Direktur Kimura Coffee, sebuah perusahaan kopi Jepang– datang ke Indonesia. Pedalaman Ballokan, Tana Toraja yang merupakan perkebunan kopi bekas peninggalan Belanda dipelajarinya dengan seksama. Ia yakin, industri Kopi Toraja akan bangkit kembali di dunia internasional jika prasarana di daerah itu dibenahi. Apalagi jika ada kerjasama dari masyarakat. Pada tahap awal, Ohki membangun perkebunan kopi seluas 1.000 hektar di Pedamaran dan 500 ratus hektar di Ballokan.
Tahun 1976, terbentuklah PT Toarco Jaya, usaha kerjasama Jepang dan Indonesia, berpusat di Ujung Pandang (sekarang Makassar), ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. ‘Toarco’ adalah kependekan dari ‘Toraja Arabica Coffee’. Dengan berdirinya usaha dua negara ini, maka dimulailah persemaian benih untuk rencana penanaman 100 hektar. Warga setempat pun direkrut untuk proyek ini. Kualitas kopi Indonesia pun dirubah termasuk cara pengolahannya dan mengatur kalorinya menggunakan komputer saat menggoreng. Dua tahun kemudian, Kopi Toarco Toraja mulai dipasarkan di Jepang. Penjualannya melebihi perkiraan. Bahkan, sampai keluar Jepang.
Tahun 1984, Pemerintah Indonesia meminta Toarco menyerahkan contoh biji kopi untuk dijadikan standar baku seluruh produsen kopi dalam negeri. Ini menjadi salah satu titik penting bagi peningkatan kualitas industri kopi Indonesia. Selama ini, Kopi Toraja yang beredar belum melalui standarisasi mutu. Jika sebelumnya Toarco hanya dibuat untuk konsumsi Jepang, maka pada 1995 kopi ini pun dijual di tanah air. Mutu bahan bakunya sama dengan Kopi Toarco Toraja yang dijual di Jepang. Namun, penggorengannya lebih lama disesuaikan dengan selera konsumen di Indonesia.
Kini, dengan standar yang sudah baku, dengan mudah akan menemukan Kopi Toraja berkualitas baik dimana saja. Bahkan, pemerintah daerah kini sedang mengembangkan lahan 1.200 hektar untuk pengembangan kopi organik di Kecamatan Sesean dan Rindingallo di Toraja Utara. Di daerah lain, seperti Enrekang dan Pegunungan Latimojong, juga akan dikembangkan usaha serupa. Sebuah potensi yang begitu besar, untuk menjadikan Kopi Toraja berkeliling ke café-café di seantero dunia.

1 komentar: