Tak
ada habisnya ku banggakan tempat ini, sebuah tempat dimana kami anak-anak
gunung dilahirkan dan tumbuh dewasa. Tempat Dimana keluarga kami tinggal. Memang
betapa berharganya semua kenangan yang ada di tempat tersebut, tak habis
kupikirkan, namun entah orang mau berkata apa, jika mereka bercita-cita keluar
negeri untuk tahu budaya orang luar, saya justru sebaliknya, mengetahui dengan
detail keunikan budaya dimana saya dilahirkan justru lebih berharga. Jauh dari
rumah, malah membuat saya sadar bahwa betapa uniknya tanah di atas gunung di
pertengahan pulau Celebes. Dan bagiku tak perlu keluar negeri untuk bisa tahu
bahwa toraja adalah home sweet home. Disanalah terdapat banyak miniature surga
pernah saya rasakan indahnya. Orangtua, saudara, sanak keluarga, dan sahabat,
bahkan banyak teman saya temukan disana.
Budaya
toraja membesarkan kami semua anak-anaknya, tanahnya sudah memberi kami makan,
dan bahkan alamnya memberi kami pelajaran bagaimana melanjutkan hidup yang
telah sang khalik titipkan. Terlebih ucapan termakasih atas keunikan yang para
leluhur kami ciptakan, walaupun hampir tak sejalan dengan apa yang saya
percayai. Namun itulah salah satu anugerah besar Tuhan. Dari budaya dan adat
tersebutlah, saya bisa lebih memahami makna hidup dan mati di dunia.
Kehidupan memang adalah sebuah awal, namun
budaya toraja sekali lagi mempunyai pengaruh dalam setiap pola pikir saya bahwa
tidak ada sebuah akhir, tak jarang orang menyebut kematian adalah sebuah akhir,
namun leluhur kami bahkan sangat yakin bahwa akan ada sebuah kehidupan baru
dan sebuah perjalanan panjang setelah kematian. Yang akan berarti kematian
bukanlah akhir namun sebuah babak baru dari kehidupan. Jika mencari sebuah
akhir di dunia, maka kematian bagi kami masyarakat toraja bukan pula akhir,
karena cerita dan ingatan akan leluhur kami semasa hidupnya akan terus
diceritakan secara turun temurun kepada generasi selanjutnya.
Jika ritus rambu solo’ adalah sebuah
acara kedukaan, maka sebagian besar masyarakat toraja tidak sependapat dengan
saya, liat saja acaranya, memotong bahkan ada yang ratusan kerbau, bukankah itu
pesta pemotongan hewan secara massal. Kematian dirayakan, namun itu
kebali kepada pribadi masing-masing orang. Namun jika saya memaknainya,
seharusnya memang seperti itu, dimana kematian dirayakan, karena menurut
keimanan saya, kematian akan membawa kita semua untuk bertemu dengan Sang
Pencipta. Kenapa kita harus berduka jika bertemu dengan pencipta. Rayakanlah
itu. Namun memang sepertinya lidah memang tak bertulang, dan dengan mudahnya
berkata seperti itu, akan ada kesedihan yang melingkupi, namun jika hal
tersebut kita maknai dengan tepat, mungkin malah akan ada sukacita besar bagi
kita, melihat orang yang kita kasihi akan segera bertemu dengan Sang Khalik.
Bahkan
tak pernah terlintas dalam benak saya untuk mencoba menghindar dari apa yang
telah saya lihat semenjak bertumbuh di dunia, tak ada niat untuk membiarkan
adat budaya yang begitu unik dan penuh makna berhenti diantara kami generasi
muda. Jika ada besi berukuran 1 kg, maka anggaplah itu hanya kapas berukuran 1
kg. menyembeli hewan dalam acara rambu solo’ tidak akan pernah saya maknai
sebagai sebuah penyembahan berhala, namun terlebih kepada kasih terhadap sanak
keluarga yang akan segera bertemu dengan Sang khalik. Kasian juga jika begitu banyak orang yang datang melayat dan hanya diberi sesuap nasi, bukankah bagi
saya itu adalah sebuah perayaan, maka dari itu, makanan pun harus banyak dan
jika perlu kerbau bukan masalah itupun jika mampu. dan mulai lagi hal baru muncul dari sini. budaya semakin mengokohkan hubungan kekeluargaan tapi bagi yang bodoh dan buta budaya akan membuat mereka terpisah dan bahkan merusak nilai-nilai keindahan dalam budaya.
Namun
tak jarang pemaknaan akan sesuatu bisa saja melenceng. Mungkin ada yang yang
memaknai adat budaya sebagai sebuah symbol untuk prestise dari masyarakat akan
keampuannya di bidang materi. Ataupun untuk memperkokoh statusnya sebagai darah
biru, yang cukup konyol karena merasa lebih dari orang lain hanya gara-gara
leluhurnya dahulu. Anak-Bapak tak selalu berwarna sama. Darah kita semua sama.
Jika matipun nanti semua manusia hanya akan jadi seonggok tengkorak yang jadi
pajangan di tempat wisata Toraja. Miris bukan, namun bgt kenyataanya, jika
hidup tidak dimaknai, maka kematian tidak ada artinya, kedua hal ini sangat
berkaitan erat. Jangan biarkan kematian kita dilupakan oleh dunia, jika dalam
kurun 5 tahun setelah kita mati msh ada yang sempat ingat hal baik akan kita,
maka bukannya itu adalah sebuah keberhasilan kita di masa kita hidup dan
keberhasilan kita di kematian walaupun hanya sebuah kebaikan kecil kita semasa
hidup di dunia. Mungkin beginilah cara saya memaknai kehidupan dan kematian,
jika hanya menjadi pemburu harta toh tidak akan saya bawa sampai mati, namun
jika saya mati dan masih ada yang menceritakan kisah hidup saya diakhir nanti,
hal itu akan membuat saya senang. Dan sekali lagi saya bangga dapat pelajaran
seperti ini dari adat dan budaya toraja, yang bahkan teman saya yang dari suku
lain katakan, orang toraja hidup untuk mati, bagi saya itulah kebenarannya.
Bahkan kematian akan menjadi sebuah hal yang lebih berharga dari pada
kelahiran.
0 komentar:
Posting Komentar