Jumat, 20 Februari 2015

Catatan kecil memaknai hidup dan mati yang saya dapatkan dari negeri di atas gunung.




Tak ada habisnya ku banggakan tempat ini, sebuah tempat dimana kami anak-anak gunung dilahirkan dan tumbuh dewasa. Tempat Dimana keluarga kami tinggal. Memang betapa berharganya semua kenangan yang ada di tempat tersebut, tak habis kupikirkan, namun entah orang mau berkata apa, jika mereka bercita-cita keluar negeri untuk tahu budaya orang luar, saya justru sebaliknya, mengetahui dengan detail keunikan budaya dimana saya dilahirkan justru lebih berharga. Jauh dari rumah, malah membuat saya sadar bahwa betapa uniknya tanah di atas gunung di pertengahan pulau Celebes. Dan bagiku tak perlu keluar negeri untuk bisa tahu bahwa toraja adalah home sweet home. Disanalah terdapat banyak miniature surga pernah saya rasakan indahnya. Orangtua, saudara, sanak keluarga, dan sahabat, bahkan banyak teman saya temukan disana.
Budaya toraja membesarkan kami semua anak-anaknya, tanahnya sudah memberi kami makan, dan bahkan alamnya memberi kami pelajaran bagaimana melanjutkan hidup yang telah sang khalik titipkan. Terlebih ucapan termakasih atas keunikan yang para leluhur kami ciptakan, walaupun hampir tak sejalan dengan apa yang saya percayai. Namun itulah salah satu anugerah besar Tuhan. Dari budaya dan adat tersebutlah, saya bisa lebih memahami makna hidup dan mati di dunia.
 Kehidupan memang adalah sebuah awal, namun budaya toraja sekali lagi mempunyai pengaruh dalam setiap pola pikir saya bahwa tidak ada sebuah akhir, tak jarang orang menyebut kematian adalah sebuah akhir, namun leluhur kami bahkan sangat yakin bahwa akan ada sebuah kehidupan baru dan sebuah perjalanan panjang setelah kematian. Yang akan berarti kematian bukanlah akhir namun sebuah babak baru dari kehidupan. Jika mencari sebuah akhir di dunia, maka kematian bagi kami masyarakat toraja bukan pula akhir, karena cerita dan ingatan akan leluhur kami semasa hidupnya akan terus diceritakan secara turun temurun kepada generasi selanjutnya.
            Jika ritus rambu solo’ adalah sebuah acara kedukaan, maka sebagian besar masyarakat toraja tidak sependapat dengan saya, liat saja acaranya, memotong bahkan ada yang ratusan kerbau, bukankah itu pesta pemotongan hewan secara massal. Kematian  dirayakan, namun itu kebali kepada pribadi masing-masing orang. Namun jika saya memaknainya, seharusnya memang seperti itu, dimana kematian dirayakan, karena menurut keimanan saya, kematian akan membawa kita semua untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Kenapa kita harus berduka jika bertemu dengan pencipta. Rayakanlah itu. Namun memang sepertinya lidah memang tak bertulang, dan dengan mudahnya berkata seperti itu, akan ada kesedihan yang melingkupi, namun jika hal tersebut kita maknai dengan tepat, mungkin malah akan ada sukacita besar bagi kita, melihat orang yang kita kasihi akan segera bertemu dengan Sang Khalik.
Bahkan tak pernah terlintas dalam benak saya untuk mencoba menghindar dari apa yang telah saya lihat semenjak bertumbuh di dunia, tak ada niat untuk membiarkan adat budaya yang begitu unik dan penuh makna berhenti diantara kami generasi muda. Jika ada besi berukuran 1 kg, maka anggaplah itu hanya kapas berukuran 1 kg. menyembeli hewan dalam acara rambu solo’ tidak akan pernah saya maknai sebagai sebuah penyembahan berhala, namun terlebih kepada kasih terhadap sanak keluarga yang akan segera bertemu dengan Sang khalik. Kasian juga jika begitu banyak orang yang datang melayat dan hanya diberi sesuap nasi, bukankah bagi saya itu adalah sebuah perayaan, maka dari itu, makanan pun harus banyak dan jika perlu kerbau bukan masalah itupun jika mampu. dan mulai lagi hal baru muncul dari sini. budaya semakin mengokohkan hubungan kekeluargaan tapi bagi yang bodoh dan buta budaya akan membuat mereka terpisah dan bahkan merusak nilai-nilai keindahan dalam budaya.
Namun tak jarang pemaknaan akan sesuatu bisa saja melenceng. Mungkin ada yang yang memaknai adat budaya sebagai sebuah symbol untuk prestise dari masyarakat akan keampuannya di bidang materi. Ataupun untuk memperkokoh statusnya sebagai darah biru, yang cukup konyol karena merasa lebih dari orang lain hanya gara-gara leluhurnya dahulu. Anak-Bapak tak selalu berwarna sama. Darah kita semua sama. Jika matipun nanti semua manusia hanya akan jadi seonggok tengkorak yang jadi pajangan di tempat wisata Toraja. Miris bukan, namun bgt kenyataanya, jika hidup tidak dimaknai, maka kematian tidak ada artinya, kedua hal ini sangat berkaitan erat. Jangan biarkan kematian kita dilupakan oleh dunia, jika dalam kurun 5 tahun setelah kita mati msh ada yang sempat ingat hal baik akan kita, maka bukannya itu adalah sebuah keberhasilan kita di masa kita hidup dan keberhasilan kita di kematian walaupun hanya sebuah kebaikan kecil kita semasa hidup di dunia. Mungkin beginilah cara saya memaknai kehidupan dan kematian, jika hanya menjadi pemburu harta toh tidak akan saya bawa sampai mati, namun jika saya mati dan masih ada yang menceritakan kisah hidup saya diakhir nanti, hal itu akan membuat saya senang. Dan sekali lagi saya bangga dapat pelajaran seperti ini dari adat dan budaya toraja, yang bahkan teman saya yang dari suku lain katakan, orang toraja hidup untuk mati, bagi saya itulah kebenarannya. Bahkan kematian akan menjadi sebuah hal yang lebih berharga dari pada kelahiran.

0 komentar:

Posting Komentar